Pemerintah Indonesia tengah melaksanakan transformasi besar dalam sistem layanan kesehatan nasional melalui penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 sebagai langkah untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 pada BPJS Kesehatan. Secara garis besar, KRIS bertujuan meningkatkan mutu pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan standar yang seragam, menciptakan pemerataan kualitas layanan medis dan non-medis untuk penyakit yang sama, serta memastikan keselamatan pasien melalui standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Dalam konsep KRIS, terdapat 12 kriteria standar minimal yang harus dipenuhi rumah sakit, antara lain ventilasi ruangan yang baik, pencahayaan memadai, ketersediaan tirai pemisah antar tempat tidur, hingga kamar mandi dalam ruang rawat. Implementasi penuh KRIS awalnya ditargetkan paling lambat 30 Juni 2025, tetapi karena banyak rumah sakit dinilai belum siap memenuhi standar tersebut, masa transisi diperpanjang hingga akhir 2025.
Secara filosofi, kebijakan ini ingin menciptakan keadilan sosial dalam pelayanan kesehatan. Dimana seluruh peserta JKN, seberapapun besar iurannya akan mendapatkan rawat inap dengan standar minimum yang sama tanpa perbedaan fasilitas berdasarkan kelas. Namun bagi Rumah Sakit, transisi ini menghadirkan problem utama yaitu potensi penurunan pendapatan Rumah Sakit karena hilangnya diferensiasi kelas perawatan.
Tantangan Rumah Sakit Menghadapi KRIS
Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) membawa tantangan serius bagi Rumah Sakit di Indonesia. Meski tujuannya mulia, implementasi kebijakan ini menyentuh banyak aspek operasional dan finansial.
1. Penurunan Kapasitas Tempat Tidur
Salah satu kriteria KRIS adalah maksimal empat tempat tidur dalam satu ruangan dengan jarak antar-tepi minimal 1,5 meter. Akibatnya, rumah sakit yang sebelumnya menampung lima hingga enam pasien dalam satu kamar harus mengurangi kapasitasnya. Penurunan jumlah tempat tidur ini berpotensi mengurangi pendapatan Rumah Sakit, terutama yang mengandalkan volume pasien.
2. Investasi Infrastruktur yang Besar
Untuk memenuhi 12 kriteria KRIS, banyak rumah sakit perlu melakukan renovasi besar atau bahkan membangun fasilitas baru. Biaya ini bukan hanya tinggi, tetapi juga menjadi beban tambahan bagi rumah sakit yang sudah menghadapi tekanan finansial dari menurunnya pendapatan.
3. Ketidakjelasan Tarif Iuran dan Skema Pembayaran
Hingga saat ini, besaran tarif iuran KRIS belum jelas. Asosiasi Rumah Sakit berharap tarifnya setara dengan kelas 1 agar pendapatan tetap terjaga. Namun jika tarif ditetapkan setara dengan kelas 3, dana masuk ke BPJS kesehatan bisa menurun. Sementara banyak masyarakat kesulitan membayar jika setara dengan kelas 2 atau 1. Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran akan defisit BPJS maupun peningkatan beban APBN/APBD untuk peserta PBI.
4. Risiko Penurunan Kelas atau Penutupan Rumah Sakit
Rumah Sakit yang tidak mampu memenuhi standar KRIS berisiko diturunkan kelasnya atau bahkan ditutup. Jika ini terjadi, justru akan mengurangi akses layanan kesehatan bagi masyarakat. Khususnya di daerah yang jumlah fasilitasnya terbatas.
5. Penurunan Kepuasan Pasien Kelas Atas
Pasien BPJS kelas 1 dan 2 yang terbiasa mendapatkan kenyamanan lebih merasa khawatir kualitas layanan menurun. Hal ini bisa menggerus loyalitas pasien premium dan berdampak pada citra Rumah Sakit.
Semua tantangan ini menunjukkan bahwa penerapan KRIS bukan sekedar perubahan teknis, tetapi sebuah transformasi menyeluruh yang menuntut Rumah Sakit untuk beradaptasi lebih cepat. Penurunan kapasitas, beban biaya renovasi, ketidakpastian tarif, hingga risiko menurunnya kepuasan pasien premium adalah masalah nyata yang dapat mengguncang stabilitas finansial dan operasional Rumah Sakit.
Strategi Rumah Sakit Beradaptasi dengan KRIS
Meskipun penerapan KRIS membawa banyak tantangan, Rumah Sakit tidak boleh hanya berfokus pada sisi masalah. Perubahan besar ini menjadi momentum untuk melakukan transformasi. Dengan strategi yang tepat, Rumah Sakit bukan hanya mampu bertahan melainkan juga berpulang memperkuat daya saingnya di tengah layanan kesehatan yang semakin kompetitif.
1. Diversifikasi Sumber Pendapatan Non-Medis
Hilangnya diferensiasi kelas rawat inap membuat Rumah Sakit perlu mencari sumber pemasukan baru di luar tarif kamar. Salah satu caranya adalah dengan menghadirkan fasilitas tenant digital seperti laundry, F&B, dan lainnya yang bisa diakses langsung oleh pasien atau keluarga pasien melalui sistem digital. Dengan konsep ini, Rumah Sakit bisa memperoleh revenue tambahan meskipun pendapatan dari kamar VIP berkurang.
2. Digitalisasi Operasional untuk Efisiensi
Tekanan finansial akibat KRIS menuntut Rumah Sakit untuk menekan biaya operasional. Digitalisasi adalah kunci untuk mencapainya. Implementasi sistem BYOD (Bring Your Own Device) berbasis QR code bisa menjadi salah satu solusi bagi Rumah Sakit untuk menekan biaya operasional. Pasalnya sistem ini tidak mewajibkan Rumah Sakit untuk investasi perangkat tambahkan. Dengan sistem ini pasien dan tenaga Rumah Sakit dapat mengakses pelayanan kesehatan tanpa instal aplikasi tambahan. Sehingga menjadikan layanan kesehatan berjalan secara efisien, mempercepat layanan kesehatan, dan menurunkan beban SDM.
3. Meningkatkan Loyalitas Pasien melalui Layanan Tambahan
Ditengah kebijakan KRIS, patient experience menjadi pembeda utama. Rumah sakit perlu memperkaya perjalanan pasien (patient journey) dengan layanan bernilai tambah, seperti akses transparan terhadap informasi medis, notifikasi layanan secara real-time, hingga penggunaan bedside device untuk memesan kebutuhan langsung dari kamar. Layanan seperti ini menciptakan kenyamanan dan kepercayaan yang pada akhirnya meningkatkan loyalitas pasien, terutama bagi segmen premium yang sensitif terhadap kualitas layanan.
4. Membangun Citra Premium di Tengah KRIS
Meskipun kamar standar KRIS diterapkan, Rumah Sakit tetap bisa menjaga citra eksklusif dengan pendekatan berbasis teknologi dan pelayanan. Misalnya menyediakan branding layanan eksklusif dengan respon cepat, standar mutu internasional, dan fasilitas pendukung yang modern. Value proposition seperti ini menegaskan bahwa meskipun kebijakan KRIS menyeragamkan layanan dasar, Rumah Sakit tetap mampu memberikan pengalaman yang berbeda dan unggul dibandingkan kompetitor.
Strategi ini menjadi pondasi penting untuk rumah Sakit agar mampu beradaptasi dengan kebijakan KRIS, namun tetap berkembang secara berkelanjutan. Kuncinya adalah beradaptasi cepat, berinvestasi pada digitalisasi, dan berani membangun model bisnis baru yang mendukung efisiensi sekaligus meningkatkan pengalaman pasien. Semua strategi tersebut dapat diwujudkan melalui platform digital Qitacare, dimana platform ini menjadi solusi bagi Rumah Sakit untuk siap menghadapi KRIS dan memastikan pendapatan secara berkelanjutan.