Menjawab Tantangan Kepercayaan Publik terhadap Regulasi Kesehatan melalui Digitalisasi yang Transparan

Beberapa bulan terakhir, kepercayaan publik terhadap Rumah Sakit di Indonesia tengah menghadapi ujian. Kasus viral yang terjadi di RSUD Sekayu Sumatera Selatan dan RSI Sultan Agung Semarang menjadi salah satu bukti permasalahan layanan kesehatan. Dimana layanan kesehatan bukan lagi terbatas terbatas terhadap kompetensi medis, melainkan terhadap komunikasi dan transparansi. Keluhan pasien yang tidak ditangani dengan cepat dan tepat, informasi biaya yang kurang jelas hingga diagnosis kesehatan yang tidak dipahami sepenuhnya oleh pasien dan keluarga pasien, memperkuat akan persepsi bahwa adanya jarak antara tenaga medis dengan pasien akan informasi dan komunikasi. 

Permasalahan ini muncul di tengah reformasi kesehatan nasional. Melalui peraturan presiden nomor 59 tahun 2024 tentang Kelas Rawat Inap standar (KRIS) dan kebijakan integrasi Rekam Medis Elektronik (RME) ke platform SATUSEHAT tengah mendorong digitalisasi secara menyeluruh. Namun, implementasi di lapangan menunjukkan bahwa masih ada beberapa Rumah Sakit yang tertinggal dalam hal transparansi digital. 

Meskipun regulasi telah dibuat, namun penerapan di lapangan masih jauh dari ideal. Dalam hal ini transparansi digital bukan lagi menjadi opsi teknis, melainkan pondasi utama yang harus dibangun Rumah Sakit yang ingin mematuhi regulasi sekaligus meningkatkan kepercayaan publik.

Pilar I : Transparansi Finansial dan Administrasi

Keterbukaan biaya merupakan langkah pertama dalam membangun kepercayaan pasien. Dengan digitalisasi, Rumah Sakit dapat menciptakan sistem billing transparan dan real-time. Dimana setiap transaksi dari obat hingga tindakan medis dapat tercatat secara otomatis dan dapat diakses pasien secara langsung. Transparansi finansial bukan sekedar alat komunikasi, melainkan bukti akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien.

Melalui Qitacare, Rumah Sakit dapat menyediakan sistem pembayaran digital terintegrasi. Pasien dapat melihat rincian tagihan pelayanan kesehatan kapan dan dimana saja melalui akses pribadi via QR Code (BYOD) dan bedside device. Dengan begitu transparansi finansial bukan sekedar kewajiban administratif, melainkan strategi membangun kepercayaan.


Pilar II : Transparansi Alur dan Komunikasi Layanan

Salah satu sumber ketidakpuasan pasien adalah ketidakpastian waktu layanan. Seperti antrian panjang di ruang tunggu, komunikasi yang minim antara pasien dan tenaga medis, dan proses layanan kesehatan lainnya. Hal ini menyebabkan persepsi akan pelayanan Rumah Sakit yang lamban dan tidak efisien. 

Transparansi alur layanan kesehatan dapat menjawab masalah tersebut dengan memberikan visibilitas penuh terhadap proses pelayanan kesehatan. Melalui sistem digital, pasien dapat mengetahui posisi mereka dalam antrian, estimasi waktu pelayanan, dan tahapan proses yang sedang berlangsung. Dengan begitu, pengalaman menunggu berubah menjadi pengalaman yang terinformasi.

Qitacare mendukung pendekatan ini melalui fitur notifikasi antrian real-time, dimana pasien dapat mengetahui informasi antrian tanpa harus menunggu diruang tunggu. Fitur ini juga menghubungkan pasien dengan tenaga medis melalui aplikasi perawat yang mencatat dan memantau waktu respons terhadap setiap permintaan pasien.

Pilar III : Transparansi Data Medis dan Informasi Pasien

Keterbukaan data medis merupakan inti dari kepercayaan klinis. Beberapa pasien masih merasa tidak memiliki kendali atas informasi medisnya. Mereka tidak mengetahui secara detail akan diagnosis, tindakan yang diberikan, atau hasil pemeriksaan yang menjadi dasar keputusan medis. Kondisi ini menimbulkan spekulasi dan ketidakpastian antara pasien dan tenaga medis.

Melalui digitalisasi rekam medis, Rumah Sakit dapat mengubah paradigma tersebut. Sistem Rekam Medis Elektronik (RME) yang aman dan terintegrasi, memberikan kemudahan pasien untuk memperoleh akses terbatas namun relevan terhadap informasi kesehatannya sendiri. Di sisi lain, Rumah Sakit wajib menjaga keamanan data medis sebagai data pribadi sensitif yang sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memastikan informasi hanya diakses oleh pihak berwenang. 

Qitacare memberikan fitur informasi medis untuk menjembatani kebutuhan ini, pasien dapat memantau informasi medisnya melalui perangkat bedside device di kamar perawatan. Transparansi seperti ini tidak hanya meningkatkan pemahaman pasien terhadap proses pengobatan, melainkan memperkuat konsep informed consent. Dimana pasien berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan medis, dengan akses yang jelas dan aman, kepercayaan akan tumbuh bukan karena janji tetapi karena bukti yang jelas. 

Transparansi bagian dari Ekosistem Layanan Kesehatan

Ketiga pilar diatas tidak dapat dipisahkan. Ketiganya saling menguatkan dalam satu ekosistem digital yang utuh. Keterbukaan biaya untuk meningkatkan rasa aman, kejelasan alur layanan untuk menumbuhkan rasa dihargai, dan keterbukaan data medis memperkuat kepercayaan klinis. Jika salah satunya tidak ada, maka ekosistem kepercayaan layanan kesehatan akan goyah.

Penting untuk dipahami bahwa transparansi bukan sekedar proyek teknologi, melainkan transformasi budaya pelayanan. Dimana menuntut perubahan pola pikir manajemen, Rumah Sakit, komitmen tenaga medis, dan kesiapan sistem terintegrasi dengan regulasi nasional. Rumah Sakit yang mampu menerapkan tiga ilat tersebut tidak hanya patuh terhadap KRIS dan JKN, tetapi juga tangguh dalam menghadapi krisis reputasi dan dinamika keuangan.

Dengan pendekatan terintegrasi seperti Qitacare, transparansi hadir di setiap perjalanan pasien mulai dari kedatangan hingga akhir pelayanan medis. Sehingga di era reformasi kesehatan nasional, Rumah Sakit lebih berani terbuka dalam memberikan informasi, memperkuat kepercayaan pasien, dan menegakkan tata kelola pelayanan yang akuntabel.

Spotlight