Platform pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas & pendapatan Rumah Sakit secara berkelanjutan.

Rumah sakit di Indonesia kini menghadapi perubahan kebijakan yang masif dan simultan, khususnya dalam sistem pembiayaan dan fasilitas layanan. Perubahan ini dipicu oleh Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dengan tujuan mewujudkan Universal Health Coverage (UHC). Dua regulasi utama yang menjadi sorotan adalah Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) serta revisi sistem pembayaran INA-CBGs menjadi i-DRG (Indonesia Diagnosis Related Groups).

Penerapan KRIS merupakan kebijakan baru yang mana menghapus perbedaan kelas perawatan (kelas I,II, dan III) dan menggantinya dengan standar pelayanan tunggal yang sama untuk semua peserta JKN. Kebijakan ini tertuang dalam perawatan presiden nomor 59 tahun 2024, dengan tenggat implementasi 30 Juni 2025, meskipun beberapa pihak Rumah Sakit mengusulkan perpanjangan hingga 31 Desember 2025 karena masih banyak Rumah Sakit yang belum siap memenuhi 12 kriteria KRIS.

Sejalan dengan KRIS, sistem pembayaran juga bertransformasi. Tarif layanan yang sebelumnya berbasis INA-CBGs yang diganti dengan i-DRG, yaitu model pembiayaan berbasis diagnosis dan tindakan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan penggunaan sumber daya. Tujuan sistem ini adalah agar pembayaran lebih transparan, adil, dan efisien.


Perubahan ini menempatkan Rumah Sakit dalam kondisi penuh tekanan. Mereka harus mampu melakukan cost containment, meningkatkan efisiensi, dan menjaga kualitas layanan. Tanpa strategi yang tepat, risikonya adalah defisit finansial, penurunan kualitas hingga hilangnya daya saing menjadi ancaman nyata.

Dampak Tekanan Finansial terhadap Mutu Layanan

Kondisi ini tidak hanya menimbulkan tantangan finansial melainkan juga berimplikasi langsung terhadap mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Jika strategi efisiensi tidak dikelola dengan hati-hati, tekanan untuk menekan biaya bsa berujung terhadap praktik yang berisiko seperti pembatasan layanan, pemangkasan kualitas obat, dan pengurangan lama rawat inap tanpa pertimbangan medis yang memadai. Dengan kata lain, kebijakan ini menuntut Rumah Sakit tidak hanya gesit secara finansial melainkan juga cerdas dalam mengelola mutu dan patient safety agar tidak kehilangan kepercayaan. Adapun dampak paling nyata dari tekanan finansial ini dapat dilihat dari beberapa aspek berikut :

1. Margin Semakin Menipis

Tarif INA-CBGs maupun i-DRG sering kali tidak sebanding dengan biaya riil pelayanan kesehatan. Kondisi ini membuat banyak Rumah Sakit menghadapi risiko defisit finansial apabila tidak segera melakukan penyesuaian strategi efisiensi.

2. Biaya Operasional Meningkat

Untuk memenuhi 12 kriteria KRIS, Rumah Sakit perlu menyiapkan investasi signifikan untuk merenovasi dan penyesuaian fasilitas. Dimana nilainya bisa mencapai miliaran rupiah per Rumah Sakit.

3. Penurunan Pendapatan dari Kelas Rawat Inap

Penerapan KRIS yang menyeragamkan struktur tarif mengurangi peluang diferensiasi layanan berbasis kelas. Akibatnya, Rumah Sakit perlu merancang strategi baru untuk menutupi potensi penurunan pendapatan yang sebelumnya berasal dari layanan kelas I dan II.

4. Ancaman Terhadap Mutu dan Keselamatan Pasien

Tekanan untuk menyesuaikan biaya kerap mendorong Rumah Sakit mengambil langkah efisiensi yang berlebihan. Seperti memperpendek masa rawat inap, memangkas layanan tambahan, dan lainnya. Jika tidak diimbangi strategi yang tepat, praktik ini berisiko langsung menurunkan mutu layanan dan mengancam keselamatan pasien.

Dengan  kondisi ini, manajemen Rumah Sakit dihadapkan dengan pertanyaan : bagaimana bertahan secara finansial tanpa harus mengorbankan kualitas dan kepercayaan pasien ?

Peran Digitalisasi Rumah Sakit

Menghadapi tekanan regulasi baru, Rumah Sakit tidak bisa lagi mengandalkan pola kerja manual dan fragmentasi sistem. Dibutuhkan pendekatan baru yang tidak hanya membantu efisiensi biaya, melainkan juga menjaga mutu layanan dan keberlanjutan finansial. Disinilah digitalisasi Rumah Sakit memiliki peran strategis. Melalui integrasi platform kesehatan digital, Rumah Sakit dapat memperkuat empat pilar utama yaitu : 

1. Access (Akses)

Akses layanan menjadi titik krusial dalam perjalanan pasien. Selama ini, Rumah Sakit di Indonesia masih menghadapi keluhan akan antrian panjang, keterlambatan pendaftaran, dan sistem manual yang memakan waktu. Dengan adanya regulasi baru, pasien semakin kritis terhadap kemudahan akses. Jika pelayanan dasar masih lambat dan rumit, kepercayaan publik akan mutu Rumah Sakit dapat turun. 

    Peran Qitacare mendukung akses layanan dengan pendekatan Bring Your Own Device (BYOD) berbasis QR code, dimana pasien cukup memindai QR code di titik tertentu Rumah Sakit untuk mengakses langsung pelayanan kesehatan. Selain itu, Qitacare juga menyediakan kiosk anjungan mandiri sehingga tidak lagi perlu antri panjang di loket. Kombinasi ini tidak hanya memangkas waktu tunggu, melainkan mengurangi beban administratif Rumah Sakit.

    2. Quality (Mutu) & Safety (Keselamatan)

    Regulasi baru menekankan akan pentingnya mutu layanan dan keselamatan pasien. Namun masih ada beberapa Rumah Sakit mengandalkan pencatatan manual yang rawan hilang, terlambat, atau tidak sinkron antar bagian. Hal ini dapat berakibat fatal sehingga dapat memicu terjadinya konflik dengan keluarga pasien akibat informasi medis yang tidak jelas.

    Digitalisasi dapat mengatasi permasalahan ini melalui Rekam Medis Elektronik (RME) dan dokumentasi digital yang terintegrasi. Data pasien dapat tersimpan dengan aman dan dapat diakses secara real-time oleh tenaga medis. selain itu, terhubung dengan sistem monitoring Rumah Sakit.

    Peran Qitacare melengkapi semua aspek mutu & safety melalui dua fitur penting yaitu informasi medis digital dan bedside device. Pasien maupun keluarga pasien dapat mengakses informasi medis dasar tanpa harus menunggu penjelasan dari tenaga medis. Di sisi lain, perawat dapat merespons kebutuhan pasien secara real-time melalui bedside device. Fitur ini membantu Rumah Sakit dalam pemenuhan indikator Mutu Nasional (INM), serta memastikan komunikasi antara pasien, keluarga, dan tenaga medis berlangsung transparan dan aman.

    3. Financial Sustainability (Keberlanjutan Finansial)

    Tekanan terbesar akan dua sistem tersebut adalah risiko mismatch antara biaya riil pelayanan dan tarif yang dibayarkan. Jika manajemen Rumah Sakit tidak mampu mengendalikan biaya secara detail, maka defisit keuangan sulit dihindari. Tanpa strategi finansial yang baik, beberapa Rumah Sakit dapat terjebak dalam cash flow negatif.

    Dalam hal ini peran digitalisasi yaitu membantu dengan menyediakan sistem monitoring biaya real-time, integrasi data antar unit, dan analisis performa operasional. Dengan begitu, manajemen bisa mengambil keputusan berbasis data, bukan sekedar perkiraan dan segera mendeteksi adanya kebocoran biaya.

    Qitacare menyediakan console management dengan dashboard analitik terintegrasi. Manajemen Rumah Sakit dapat melacak kinerja unit, beban operasional, serta pendapatan harian dalam satu layar. Lebih dari itu, Qitacare membuka peluang pendapatan tambahan melalui tenant digital dan premium service (VVIP) yang dapat ditawarkan di luar layanan JKN. Dengan model ini Rumah Sakit tidak lagi hanya bertumpu dengan klaim BPJS, melainkan dapat mengembangkan revenue stream baru yang lebih berkelanjutan.

    Regulasi baru seperti KRIS dan i-DRG sering dianggap sebagai beban, melainkan menjadi momentum untuk transformasi. Dengan platform digital seperti Qitacare, Rumah Sakit dapat berjalan secara efisien, menjaga mutu dan patient safety, serta mencapai keberlanjutan finansial. Transformasi digital bukan lagi menjadi sebuah pilihan, melainkan syarat utama agar Rumah Sakit tidak hanya survive, melainkan juga tumbuh, tangguh dan berkelanjutan di era JKN. 

    Pelajari bagaimana Qitacare bisa membantu Rumah Sakit anda untuk survive dan tumbuh. Hubungi tim Qitacare dan jadwalkan demo gratis sekarang.

    Spotlight